Sitemap

Tidak Ada Derita di Sini-Kini

3 min readJun 15, 2025

Padahal sebenarnya baru di waktu dan tempat yang cenderung baik-baik aja, enggak ada masalah besar yang mengancam… tapi jadi gelisah, enggak tenang, karena overthinking, pikiran berwisata masa lalu atau pun masa depan?

Cahyo duduk di teras rumahnya, memegang cangkir teh yang uapnya pelan-pelan menghilang ke udara malam. Malam yang tenang, tapi pikiran malah gaduh.

“Bulan bagus banget malam ini, ya,” kata Widya, sahabat lamanya yang datang berkunjung.

Cahyo tersenyum tipis, “Iya, tapi kepalaku ribut banget, Wid.”

“Ribut kenapa?”

Cahyo menarik napas panjang, “Padahal nggak ada masalah besar, tapi pikiran ini jalan-jalan sendiri. Besok deadline, kemarin ada omongan yang aku sesali, terus mikirin hidupku yang kok begini-begini aja.”

Widya diam sebentar, lalu menoleh padanya, “Kamunya lagi duduk di sini, tapi pikiranmu keliling dunia.”

Cahyo tertawa, “Bener banget.”

Widya menyandarkan punggung ke kursi, “Aku juga sering begitu. Padahal hidup ini cuma terjadi di sini, di detik ini. Tapi kepala kita maunya ada di mana-mana.”

“Makanya jadi gelisah, ya,” sahut Cahyo.

“Persis,” kata Widya, “Sementara tubuh kita hanya bisa di saat ini, pikiran kita rajin banget nyeret kita ke masa lalu, masa depan, membanding-bandingin, nyari kenyataan versi yang lain.”

Cahyo mengangguk pelan, “Jadi, solusinya bukan beresin semua pikiran itu?”

“Bukan,” jawab Widya sambil tersenyum kecil. “Kadang cukup berhenti lari. Sekadar hadir aja. Rasain dinginnya udara, teh hangat, suara di sekitar. Itu aja.”

Cahyo memejamkan mata sejenak. Udara malam menyentuh kulitnya dengan lembut. Untuk pertama kalinya malam itu, dia hening, meski hanya sesaat.

Ia membuka mata, menatap Widya, “Tenang juga, ya, kalau berhenti sebentar.”

Widya tertawa, “Aku bilang apa? Yang ribut itu cuma pikiran kita sendiri kok.”

Malam hari, seringkali tubuh kita diam di sini, tapi isi kepala malah muter terus:

“Besok gimana ya deadline-nya?”

“Harusnya tadi tu aku ngomong gini…”

“Temen-temenku udah pada begitu, sedangkan hidupku? Kok begini-begini aja…”

“Situasi negara makin enggak menentu, bakal gimana ini hidupku?”

Tampak luar sih mungkin kelihatan tenang. Tapi di dalam… perang. Kita pun menderita.

Sebenarnya, kita enggak mungkin menderita di momen saat ini, di sini-kini.

Kalau kita benar-benar sadar penuh hadir utuh di sini-kini, terhubung dengan kesadaran akan sekarang, maka tidak ada penderitaan di sini-kini.

Coba amati: ketika kita tidak hanyut terseret pikiran tentang masa lalu (memori, ingatan), atau tentang masa depan (imajinasi, bayangan), ketika kita tidak sedang membandingkan “apa yang ada” dengan “apa yang dulunya ada” (masa lalu) atau dengan “apa yang seharusnya ada” (masa depan), maka enggak ada penderitaan yang muncul.

Penderitaan muncul ketika ada jarak antara kenyataan dan keinginan.

Penderitaan muncul ketika ada jarak antara momen di sini-kini dengan apa yang kita inginkan.

Aku sedang di sini, tapi aku ingin ada di sana. Aku merasa begini, tapi aku ingin merasa seperti itu. Ini adalah jarak psikologis, bukan fisik. Di sanalah penderitaan tumbuh: di ruang antara “sekarang” dengan “nanti”, antara “seapaadanya” dengan “apa yang kuinginkan”.

Penderitaan itu hasil dari ketegangan antara “dimensi di sini-kini” dengan “bukan dimensi di sini-kini.”

Sederhananya, dengan kata lain: Penderitaan adalah hasil dari penolakan terhadap sekarang. Kita tegang karena menolak momen saat ini. Kita ingin kabur darinya. Kita menginginkan realitas dengan versi yang berbeda daripada realitas sekarang.

Tapi ketika kita menolak momen saat ini, di sini-kini, akibatnya kita menolak satu-satunya ruang dan waktu di mana kehidupan ini terjadi. Dan penolakan terhadap kehidupan itu selalu melahirkan ketegangan. Melahirkan penderitaan.

Lha terus, bagaimana jalan keluarnya?

Kita tidak perlu berusaha menemukan “dimensi di sini-kini”, tidak perlu menciptakan “sekarang”. Dimensi ini sudah ada dan senantiasa ada.

Yang perlu kita lakukan hanyalah berhenti lari ke tempat selain di sini-kini. Berhenti berusaha untuk berada di tempat dan waktu lain, di masa lalu maupun masa depan.

Saat kita benar-benar menyadari momen ini seapaadanya, maka penderitaan kehilangan cengkeramannya. Yang tersisa hanyalah keheningan, ruang lapang, dan kedamaian yang tanpa syarat.

Karena pada akhirnya, sederhana sih: Kesadaran senantiasa di sini-kini. Kesadaran tidak pernah menderita. Yang menderita adalah pikiran yang hobinya menolak momen saat ini.

--

--

Adjie Santosoputro
Adjie Santosoputro

Written by Adjie Santosoputro

• Meditator • Mindfulness Practitioner • Stillness Enthusiast •

Responses (2)