Semua Perasaan Berasal dari Cinta
Cinta + Filter Keterpisahan = Kebencian?
Sore itu, kami duduk berdua di bangku kayu yang agak udah lapuk, di bawah pohon yang daunnya berguguran pelan. Matahari nyaris tenggelam. Angin berhembus pelan.
Teman saya diam cukup lama sebelum akhirnya bicara, “Aku benci dia,” katanya lirih, tapi tegas.
Saya menoleh pelan, menunggu tanpa menyela. “Dulu aku enggak pernah bisa benci orang,” lanjutnya. “Tapi sekarang… rasanya kayak semua amarah numpuk ke satu orang ini.”
Saya tetap diam. Tak ada kata. Cuma dengerin. Hanya ruang buat dia bercerita.
“Aku nggak tahu kenapa aku segini marahnya. Dia cuma… ya, pergi. Tapi aku ngerasa dibuang. Enggak dianggap. Kayak keberadaanku cuma numpang lewat.”
Ia menghela napas panjang, seperti menurunkan beban berat yang selama ini ditahan di dada.
Saya mengangguk pelan, “Kamu sayang banget, ya, sama dia?”
Dia terdiam. Lalu tertawa kecil, getir.
“Lucu, ya. Aku bilang benci… tapi kamu malah nanya soal sayang.”
Saya menatap daun yang jatuh tepat di depan kami, “Soalnya… benci itu asalnya dari cinta. Semua perasaan asalnya dari cinta.”
Dia menoleh. Matanya berkaca.
“Kalau nggak pernah cinta, mungkin nggak akan sebegini sakit, ya?”
Kemudian hening… Bukan hening yang canggung. Tapi hening yang memulihkan.
Karena di sela-sela luka dan cerita itu, ada ruang bagi cinta untuk mulai mengenali dirinya sendiri lagi. Ada perjalanan pulang yang sunyi… ke tempat di mana cinta tak lagi terkena filter keterpisahan.
Setiap perasaan yang kita alami, entah itu kegembiraan, kemarahan, ketakutan, kecemasan, kecemburuan, kebencian, atau pun kesedihan, pada intinya semuanya muncul dari satu sumber yang sama, yaitu cinta. Atau apapun kita menyebutnya: Tuhan, Allah, Sang Maha Ada, Semesta.
Cinta, dalam pengertian yang mendalam, bukanlah emosi yang datang dan pergi.
Cinta adalah esensi, inti dari keberadaan semua hal. Cinta itu semacam ruang yang sangat lapang, semua muncul di dalam ruang itu. Cinta adalah kesadaran alami yang sekadar hadir, hanya menyadari semua yang muncul di dalam ruang itu. Cinta tidak memilih. Cinta tidak menolak, tidak melawan. Cinta tidak menekan, tidak memendam. Cinta adalah pelukan sepenuhnya, seutuhnya terhadap segala hal, tanpa syarat.
Namun, ketika cinta itu kena filter, filternya berupa asumsi, prasangka, keyakinan, perasaan keterpisahan (aku beda dengan kamu, kelompokku beda dengan kelompokmu… dalam berbagai bentuk), maka ekspresi cinta bisa berubah bentuk.
Bayangkan cinta seperti cahaya putih murni.
Ketika cahaya itu melewati prisma keterpisahan, cahaya cinta terpecah, berubah menjadi berbagai warna perasaan: kegelisahan, kemarahan, kebencian.
Tapi, esensi, inti dasarnya sebenarnya nggak berubah, yaitu cinta. Tuhan, Allah, Sang Maha Ada, Semesta.
Yang terpecah hanya penampakannya, bukan sumber asalnya. Kebencian, dalam bentuknya yang paling dalam, adalah cinta + filter keterpisahan. Kebencian adalah cinta yang telah kehilangan arah karena tersesat dalam persepsi bahwa “Aku terpisah dengan kamu, kelompokku terpisah dengan kelompokmu, aku terpisah dari segalanya.”
Dengan kata lain, tidak ada kebencian sejati. Yang ada hanyalah cinta yang terkena filter, melewati prisma, yang mengekspresikan dirinya dalam ruang batin yang penuh kabut dan ilusi akan keterpisahan.
Dan karena hanya ada satu esensi, inti yang nyata, yaitu cinta, atau kesadaran, atau jiwa (Tuhan, Allah, Sang Maha Ada, Semesta)… maka bahkan emosi yang paling negatif, paling gelap pun sebenarnya berasal dari sumber yang sama, cahaya yang sama yaitu cinta. Tidak ada asal sumber lain yang tersedia.
Ketika perasaan keterpisahan itu runtuh, bahkan sejenak saja, yang tersisa hanyalah cinta yang mengalir bebas. Tidak ada prisma keterpisahan, maka tidak ada perasaan kebencian, kemarahan, dan tidak ada perasaan apapun, yang ada hanya cinta. Di momen semacam itu, tidak ada yang lain untuk dibenci, karena tidak ada “yang lain”.
Di momen semacam itu, pemulihan yang sesungguhnya terjadi.
Jika kamu diam sejenak, hening… dan sekadar hadir menyadari perasaan apa pun yang muncul saat ini, kurangi menolaknya atau menganalisisnya, cobalah hanya menyadarinya tanpa label, tanpa menolaknya, tanpa keinginan untuk mengubahnya. Maka kamu akan mulai merasakan: Di balik berbagai bentuk perasaan dan pikiran, yang senantiasa ada menjadi background itu semua, adalah selalu cinta. Tuhan, Allah, Sang Maha Ada, Semesta. Sebuah ruang yang sangat lapang, semua muncul di dalam ruang itu. Spaciousness, formless, pure awareness, compassion, love ❤️