Pulih Bukan Tujuan yang Diraih
Pemulihan bukan pencapaian. Makin kamu berusaha mencapainya, pulih malah makin menjauh?
Dina mengetuk-ngetuk ujung pulpen ke meja. Jam menunjukkan pukul 18.43. Kantor mulai sepi. Laporan keuangan masih setengah jalan. Tapi pikirannya sudah lari ke tempat lain, lebih tepatnya, ke pertanyaan yang dilempar Langit tadi siang.
“Menurutmu, pulih, kondisi pulih, pemulihan itu apa?”
Begitu kata Langit sambil menyesap kopi instan di pantry, santai sekali seperti sedang membahas cuaca.
Dina menertawakannya waktu itu.
“Apaan sih? Kamu lagi mental health, healing banget, Lang?”
Tapi sejak itu, pertanyaan itu nggak pergi-pergi dari kepala.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Langit masuk sambil membawa dua bungkus mi instan dan senyum lelah.
“Laper. Kamu mau?”
Dina mengangguk, diam-diam lega ada alasan untuk berhenti kerja.
Mereka duduk di ujung ruangan, menatap malam dari balik jendela gedung lantai 9. Lampu kota seperti bintang.
“Kamu serius tadi siang?” tanya Dina akhirnya.
Langit mengangguk. “Iya. Soalnya belakangan ini aku ngerasa aneh aja. Kayak capek, tapi bukan karena kerja. Lebih ke… capek berusaha memulihkan diriku.”
Dina menoleh. “Capek berusaha memulihkan dirimu?”
“Hmm. Capek ngejar jadi versi yang lebih baik terus. Lebih pulih, lebih tenang, lebih bijak, lebih mindful, bahkan lebih… tercerahkan atau spiritual awakening. Tapi makin dikejar, makin jauh. Sampai akhirnya aku diem aja.”
Dina terdiam.
Ia tahu rasanya. Merasa harus selalu on, selalu punya arah, selalu berkembang. Padahal kadang cuma pingin duduk dan diam, tanpa tujuan.
“Dan pas kamu diem?”
Langit tersenyum tipis,
“Aku ngerasa… anehnya, malah damai. Nggak ada target. Nggak ada yang harus aku capai. Kayak… cukup aja.”
Sunyi sejenak. Hanya suara AC dan sendok plastik mengaduk mi.
Dina lalu berkata pelan, “Berarti, pulih itu bukan soal berusaha meraih suatu kondisi?”
“Mungkin bukan. Mungkin itu malah soal berhenti berusaha meraih suatu kondisi di masa depan.”
Langit menatap mi-nya.
“Dan seberapa utuh kita be present, sadar penuh hadir di sini-kini.”
Di luar, kota tetap sibuk. Tapi di ruang kantor itu, dua manusia sedang berhenti sejenak dari kejar-kejaran dengan dunia. Dan mungkin, tanpa mereka sadari, sedang bergerak dalam cinta. Dalam keheningan. Dalam pemulihan yang nggak perlu diberi label.
Di zaman sekarang, banyak orang menganggap pemulihan sebagai tujuan. Semacam pencapaian healing, pencapaian spiritual setelah berusaha bertahun-tahun, setelah meditasi bertahun-tahun, ikut retret ke sana kemari, ikut teknik metode ini itu, atau membaca banyak buku healing, buku spiritual. Seolah-olah ada satu titik yang bisa dicapai, lalu selesai: “Aha! Aku sudah pulih.”
Tapi pemulihan bukan seperti lulus kuliah atau naik level dalam game. Pemulihan bukan hasil akhir dari sebuah proses linear. Bukan goal yang bisa diukur dengan sertifikat, gelar, atau pengalaman, sensasi tertentu.
Justru sebaliknya. Pemulihan adalah hilangnya dorongan untuk becoming, “menjadi”.
Pemulihan terjadi ketika keinginan untuk mengejar, membandingkan, dan memperbaiki diri… perlahan-lahan surut.
Dan ketika pikiran tak lagi sibuk menilai atau mencari, saat itu muncul ruang. Dan dari ruang itulah cinta yang memulihkan mengalir.
Pemulihan tidak terikat waktu.
Pemulihan bukan sesuatu yang nanti akan datang. Pemulihan bukan di masa depan.
Pemulihan hanya bisa muncul saat ini, di sini-kini, ketika kesadaran hadir sepenuhnya tanpa gangguan.
Pemulihan itu sebuah gerakan batin yang mengalir dari rasa keterhubungan yang dalam.
Bukan cinta yang romantis atau emosional, tapi cinta sebagai esensi diri kita yang terdalam, deep I, yaitu kesadaran, pure awareness, kehadiran tanpa syarat.
Gerakan ini tidak punya agenda, tidak punya arah. Ia bukan untuk “memperbaiki dunia”, tapi muncul dari pemahaman bahwa tidak ada pemisahan antara “aku” dan “yang lain”.
Dalam bahasa sehari-hari, mungkin bisa dijelaskan begini:
Pemulihan itu bukan status.
Tapi cara sadar penuh hadir utuh di hidup ini, tanpa membawa beban masa lalu, tanpa terburu-buru menuju masa depan.
Ia bukan titik akhir, tapi proses yang hidup.
Sebuah gerakan batin yang terus mengalir, setiap kali kita hadir dalam kesadaran, dalam keheningan, dalam cinta.
Pemulihan bukan tentang becoming, menjadi sesuatu, meraih suatu kondisi.
Tapi justru tentang just be, berhenti berusaha meraih suatu kondisi. Seberapa dalam kita be present, sadar penuh hadir utuh di sini-kini.