Sitemap

Ketika Perjalanan Pulihmu Justru Menjauhkanmu dari Dirimu Sendiri

3 min readJun 29, 2025

--

Kamu benar-benar pulih atau cuma merasa lebih baik?

Di sebuah coffee shop kecil, ada dua sahabat bernama: Lilo dan Sora. Sore itu mereka duduk di bangku dekat sudut ruangan, minum kopi, ngobrol hal-hal random, hahahihi, tapi kadang berdua juga diam.

Lilo sejak datang memang wajahnya sudah kusut. Di kali ke sekian dia mengangkat cangkir mau minum, tangannya gemetar. Dan seperti yang bisa diduga, kopinya sedikit tumpah di meja.

“Astaga,” keluh Lilo. “Selalu aja ada yang salah akhir-akhir ini.”

Sora melirik tumpahan kopi yang tak seberapa itu. “Kenapa nggak kamu lap aja?” katanya pelan.

Lilo menggeleng. Dia masih gelisah kenapa akhir-akhir selalu aja ada yang salah, “Aku perlu afirmasi positif, perlu meditasi ini, biar tenang lagi. Bentar lagi aku mau pulang aja,” bernada jengkel.

Sora tersenyum. “Atau… gimana kalau kita duduk aja dulu bareng kopi yang tumpah ini?”

Lilo menoleh. “Maksudnya?”

“Kadang kita buru-buru nyari kesimpulan. Nyari makna. Nyari cara buat ngerasa lebih baik. Tapi mungkin sekarang, yang paling kita butuhkan bukan nyari apa-apa. Cuma duduk. Sama kekacauan kecil ini.”

Lilo diam. Lalu, dia tersenyum.

Mereka pun duduk. Tanpa afirmasi. Tanpa meditasi. Tanpa perlu memperbaiki apa-apa.

Hanya duduk. Menyaksikan kopi mengering perlahan. Dan ternyata… nggak seburuk itu.

Kita semua, di perjalanan pemulihan diri, sering kali mulai dengan bantuan: quote, kata-kata, afirmasi positif, buku, video, teknik metode, terapi, meditasi. Itu valid. Itu penting. Seperti tongkat untuk berjalan. Saya tidak mengatakan itu tidak penting. Tapi, pada titik tertentu, tongkat itu sendiri bisa menjadi penghalang perjalanan pulih.

Setelah kita cukup mulai bisa mengenali gerakan pikiran dan emosi, maka perlahan kita akan menyadari bahwa bahkan quote, kata-kata, afirmasi positif, buku, video, teknik metode, terapi, meditasi justru bisa menjadi cara kita untuk melarikan diri.

Cuma untuk merasa lebih baik, tapi nggak benar-benar pulih.

Misalnya:

Ketika emosi lama, luka batin, kesedihan, ketakutan muncul, lalu kita langsung baca-baca afirmasi positif, tanpa benar-benar sekadar hadir dengan perasaan itu. Maka afirmasi itu bukan menjadi pintu pemulihan, tapi malah jadi cara yang subtle untuk lari menghindari kenyataan yang sedang kita alami.

Seolah spiritual, tapi itu pelarian.

Bahkan bisa jadi kita meditasi cuma sebatas untuk pelarian.

Kalau duduk hening kita niatkan sejak awal supaya tenang, supaya perasaan yang kita judge negatif cepat hilang, supaya tidak merasakan ini itu, maka itu sesungguhnya bukan meditasi.

Itu diam-diam pelarian, escaping yang dibungkus healing.

Lalu meditasi yang bukan pelarian itu gimana?

Bukan teknik. Bukan usaha. Tapi keberanian untuk duduk diam tanpa bergerak menjauh, tidak melarikan diri. Tidak mengambil satu pun jalan keluar, tidak analisa, tidak afirmasi. Hanya hadir. Sekadar hadir.

Dan saat kita benar-benar berhenti berusaha kabur, bahkan berhenti lari dari pikiran dan perasaan nggak nyaman yang muncul, kita akan menyadari sesuatu di dalam diri yang senantiasa tidak bisa terpengaruh oleh apapun itu.

Di tengah pikiran dan perasaan bergerak, ada sesuatu yang nggak bergerak, dan nggak bisa digerakkan oleh pikiran dan perasaan. Yang selalu ada di background segala pikiran dan perasaan.

Seperti langit yang selalu ada di background segala awan.

Damai. Hening. Tak tersentuh.

Dan ternyata itulah yang selama ini kita cari, lewat begitu banyak cara.

Ini perlu keberanian. Bukan terus lari dari luka, tapi kita perlu mengurangi lari darinya. Karena hanya di sana, di tengah-tengahnya, pulih yang sesungguhnya berada.

--

--

Adjie Santosoputro
Adjie Santosoputro

Written by Adjie Santosoputro

• Meditator • Mindfulness Practitioner • Stillness Enthusiast •

No responses yet