Kalau Kamu Selalu Khawatir
--
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, beberapa tahun setelah saya lulus kuliah di Psikologi UGM, saya belajar dari banyak pengalaman, banyak buku, dan banyak guru untuk menemukan jawaban tentang cara menyembuhkan kekhawatiran.
Sebagai seorang manusia, ada sejumlah kekhawatiran dalam hati saya. Di satu sisi, saya tahu benar bahwa selalu khawatir itu tidak baik untuk kesehatan. Di sisi lain, saya masih merasa belum tahu dan belum mampu menyembuhkan kekhawatiran tersebut. Terkait jodoh, karir, keuangan.
“Apa yang sebenarnya bikin kamu khawatir?” Pertanyaan itulah yang seringkali diajukan para guru saya setelah saya menceritakan semuanya soal kekhawatiran. Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan.
Rasanya saya ingin bertanya, apakah dengan mengetahui apa yang sebenarnya bikin saya khawatir akan menyembuhkan kekhawatiran yang saya rasakan? Namun, saya tak tergesa mempertanyakan itu. Saya berusaha mencerna dulu.
“Saya mengerti apa yang sebenarnya bikin saya khawatir,” ujar saya, merasa sok tahu. “Tapi, saya ingin menyembuhkan kekhawatiran, bukan ingin mengetahui penyebabnya…”
Guru saya berkata, “Yang sebenarnya bikin kamu khawatir adalah karena pikiranmu penuh dengan masa depan. Maka, sadarilah itu dan latihlah pikiranmu untuk lebih berada di saat ini, di sini-kini.”
Ada yang berontak dalam diri saya. “Iya, lalu gimana caranya melatih pikiran saya agar lebih berada di sini-kini?”
“Latih pikiranmu untuk menyadari napasmu,” ujar guru saya. Saya dengarkan dengan seksama. “Ketika kamu menarik napas, sadari tarikan napasmu. Dan ketika kamu menghembuskan napas, sadari embusan napasmu. Kekhawatiranmu pun akan terurai dengan sendirinya,” lanjut guru saya menjelaskan lebih rinci.
Saya tak ingin mendebat lagi. Maka, saya menjalankan nasihatnya.
Bulan demi bulan, berganti tahun, saya tak kunjung mampu menyembuhkan kekhawatiran saya selama ini. Niat saya untuk menyembuhkannya justru makin kendur karena kian tak yakin apakah saya bisa melakukannya?
Maka saya mendatangi guru saya lagi.
“Saya sudah berlatih,” ujar saya, “tapi, tak ada perubahan.”
Guru saya menatap mata saya, “Teruskan latihanmu,” ujarnya, “kamu hanya berlatih di saat-saat tertentu saja.”
Deg! Tiba-tiba, saya menyadari bahwa selama ini hanya berlatih seenak saya tanpa benar-benar menerapkan pelajarannya dalam hidup sehari-hari.
“Jadi, apa yang harus saya lakukan setelah ini, Guru?”
“Ketika kamu makan, latihlah pikiranmu untuk sadar benar bahwa kamu sedang makan,” jawab guru saya, “kalau pikiranmu mengembara, ajaklah pikiranmu untuk menyadari napasmu, lalu kembali sadari bahwa kamu sedang makan. Nikmati perlahan apa yang sedang kamu gigit, kunyah, dan telan. Sadari pula kehadiran orang yang sedang menemani kamu makan. Maka kekhawatiran pun tidak akan menjerat dirimu. Lakukan pula latihan ini saat kamu berjalan, melakukan hobi, dan bekerja.”
Seketika, ada rasa sejuk dalam hati dan pikiran saya. Ketika saya menggali nasihat itu lebih dalam lagi, latihan sadar diri di sini-kini (mindfulness) akan menjadi penjaga yang membuat saya menjadi manusia yang sembuh dari rasa khawatir.
“Barangsiapa tak pernah melatih pikirannya untuk sadar diri di sini-kini, pikirannya akan lemah mudah khawatir akan masa depan, pun gampang menyesal akan masa lalu.
Barangsiapa tekun melatih pikirannya untuk sadar diri di sini-kini, pikiran sadarnya akan menguat, sehingga lebih mampu menyadari pikiran hanyalah pikiran, bukan kenyataan. Dengan sendirinya, kegaduhan pikiran akan berangsur mereda. Rasa khawatir tak punya daya lagi untuk menyakitinya.”