Berhenti Membandingkan Hidup Orang Lain
Selama ini kamu nggak pernah jadi diri sendiri? Tanpa sadar kamu sibuk membandingkan diri dengan orang lain, pingin jadi orang lain?
Malam itu, hujan turun pelan. Di bawah atap halte kosong, Nara dan Jati berdiri berdampingan, menunggu reda.
“Kamu jadi ikut pelatihan manajerial itu?” tanya Jati, tangannya dimasukkan ke jaket.
Nara mengangguk pelan, “Iya. Disarankan atasan. Katanya biar cepat naik level.”
Jati: “Dan kamu pengen naik level?”
Nara terdiam sesaat, lalu menjawab, “Kayaknya… pengen sih. Tapi kadang aku bingung, aku pengen karena emang pengen, atau karena itu langkah ‘yang wajar’. Cuma ngikut arus aja.”
Jati menatap jalanan yang becek, “Aku pernah di titik itu. Ngikutin jalur lurus karena semua orang jalan ke arah situ. Tapi pas sampai tengah-tengah… kosong.”
“Terus kamu ngapain?”
“Aku belok,” jawab Jati ringan, “Milih jalur karir lain, walau gak stabil. Tapi anehnya… malah merasa hidup.”
Nara menoleh, “Tapi kamu gak takut gagal?”
Jati tertawa kecil, “Takut. Tapi lebih takut kalau gak pernah jadi diri sendiri.”
Hujan mulai reda. Tapi pembicaraan belum.
“Aku kadang iri sama kamu,” kata Nara lirih. “Kamu kayak tahu kamu siapa.”
Jati menggeleng, “Sampe sekarang, aku juga masih nyari. Tapi setidaknya, sekarang aku gak lagi ngikutin rute hidup orang lain. Aku bikin jejak sendiri. Pelan-pelan.”
Nara menarik napas panjang. Lalu tersenyum,
“Mungkin udah waktunya aku mulai tanya ulang ke diriku sendiri… apakah hidupku udah versiku sendiri atau cuma mau copy paste hidup orang lain.”
Di zaman ini, kita dibanjiri oleh konten. Scroll Instagram, TikTok, X, Facebook, YouTube, semua orang seperti punya cerita hebat yang bisa kita tiru.
Semua orang terlihat benar-benar tahu arah hidupnya. Terkadang kita pun bertanya dalam hati: “Apa aku harus seperti mereka?”
Namun dalam kebisingan itu, kita bisa kehilangan diri sendiri.
Setiap hari, kita disuguhi cerita orang lain.
Dari media sosial, buku pengembangan diri, podcast inspiratif, testimoni kesuksesan, cerita heroik, from zero to hero.
Dari berbagai celah seperti berkata:
“Begini caranya menjadi sukses.”
“Begini caranya menemukan cinta.”
“Begini caranya sembuh dari luka.”
Cerita-cerita ini bisa menjadi sumber inspirasi. Tapi jika tidak hati-hati, kita bisa terjebak dalam pola meniru, bukan menyelami diri sendiri.
Kita mulai membandingkan jalan hidup kita dengan milik orang lain:
Kenapa aku belum seperti dia?
Kenapa jalanku tidak semulus itu?
Apa aku salah arah?
Dan tanpa sadar, kita mulai hidup bukan sebagai diri sendiri, tapi sebagai versi editan dari harapan orang lain, standar orang tua, standar masyarakat, atau algoritma. Kita nyontek hidup orang lain.
Kita menjadi pemeran dalam cerita yang bukan milik kita.
Kita mulai mengadopsi cerita-cerita luar sebagai cetak biru hidup kita:
• Orang ini sukses karena ikut tren X, berarti aku juga harus begitu.
• Dia healing-nya lewat A, berarti aku juga harus melakukan A.
• Dia menikah di umur 30, karier mapan di 35, berarti itu timeline normal.
Kita perlu ingat: Itu cerita hidup orang lain, bukan cerita hidup kita.
Itu mungkin benar untuk mereka.
Tapi kita manusia, bukan fotokopi.
Apa yang benar untuk satu orang, bisa jadi justru menyesatkan bagi yang lain.
Temukan dirimu yang yang terpendam di dalam.
Ini adalah ajakan untuk menjadi otentik, untuk menggali esensi diri di kedalaman, bukan sekadar mengejar validasi sosial.
Ini bukan tentang jadi berbeda cuma demi terlihat beda, tapi tentang jujur pada diri sendiri.
Tentang menyelami hidup sebagai proses, bukan sebagai proyek pamer.
Bukan berarti juga hidup harus serba spektakuler. Ini lebih tentang hidup setia pada alurmu sendiri, meskipun belum ada yang melakukannya sebelumnya, meskipun itu tidak viral, meskipun tidak selalu dimengerti orang lain.
Di era algoritma, keotentikan menjadi bentuk kemerdekaan.
Dunia mendorong kita untuk menjadi versi yang bisa dipasarkan.
Sesuatu yang serupa, bisa dijual, mudah dikenali.
Tapi diri kita sendiri tidak mudah kita kenali, bahkan seringkali membingungkan. Ini proses menjadi manusia seutuhnya.
Kadang jalanmu sepi, berliku, tidak tampak hasilnya.
Tapi justru di situlah dirimu yang terpendam di dalam perlahan sedang dibuka.
Jalan hidupmu bukan cuma konten. Bukan cuma untuk dipertontonkan, tapi untuk dijalani dengan penuh kesadaran.
Menjalani hidup jadi dirimu sendiri bukan pasti soal ego, tapi tentang kejujuran.
Ini bukan semata tentang merasa unik atau istimewa. Bukan cuma soal “aku beda dari yang lain” dalam makna egosentris.
Justru ini adalah praktik kerendahan hati:
Mengakui bahwa diriku tidak bisa disamakan. Dan begitu juga orang lain. Bahwa jalan hidup, pemulihan, semuanya bersifat sangat personal.
Tidak perlu dibandingkan, dan tidak bisa dibandingkan.